Jumat, 23 Januari 2015

Pengerupukan Bali


Pengerupukan dilaksanankan sehari sebelum Umat Hindu melaksanakan brata penyepian ( silentlife) maksud dan tujuannya adalah mengharmonisasi aspek keButha'an/Kala alam beserta isinya, dengan ritual caru / persembahan suci kepada Maha Raja Yama diyakini semua komunitas ButhaKala akan tidak menggangu dan mempengaruhi alam ini khususnya manusianya.


     


Dibagian lain dari hal tersebut diatas, kami akan menyoroti kegiatan setelah masyarakat melakukan ritual caru, adalah prosesi Karnaval Obor/Oboh yang dinamai " Kuntang Kunting ". Sebagai pelaksana atas kegiatan ini adalah Sekehe Teruna Adat dan diikuti oleh anak - anak lainnya. Pelaksanaan karnaval ini dimulai dari ujung desa (Utara) berjalan perlahan - lahan menuju kesemua penjuru desa/batas desa" yang berkonotasi penyapuhan desa atas segala leteh/kotoran yang menghinggapi selama setahun ( tahun Caka ), artinya juga melakukan prosesi pembersihan niskala atas tanah desa selama setahun..




Hal lain dilakukan dimasing - masing pekarangan adalah dengan melakukan ritual juga tapi sebatas dipekarangan masing - masing, sama juga ditujukan kepada Maha Raja Yama, juga ada persembahan yang dipersembahkan dilebuh( pintu gerbang pekarangan ), masing - masing keluarga diberikan 1 ( satu ) helai lis/ gabungan untaian janur yang dipasupati, nasi taur ( gabungan butir -butiran bija beserta daging dan alkohol ) serta Tirta yang dikirim dari Pura Besakih kepada masing - masing Desa Pekeraman yang di tahun ini bertepatan dengan Ritual Panca Bali Krama ( Caru 10 tahun sekali )

      
Tawur Agung/Tawur Kesanga atau Pengerupukan dilaksanakan sehari menjelang Nyepi yang jatuh tepat pada Tilem Sasih Sesanga. Pecaruan atau Tawur dilaksanakan di catuspata pada waktu tepat tengah hari. Filosofi Tawur adalah sebagai berikut tawur artinya membayar atau mengembalikan. Apa yang dibayar dan dikembalikan? Adalah sari-sari alam yang telah dihisap atau digunakan manusia. Sehingga terjadi keseimbangan maka sari-sari alam itu dikembalikan dengan upacara Tawur/Pecaruan yang dipersembahkan kepada Bhuta sehingga tidak menggangu manusia melainkan bisa hidup secara harmonis (butha somya). Filosofi tawur dilaksanakan di catuspata menurut Perande Made Gunung agar kita selalu menempatkan diri ditengah alias selalu ingat akan posisi kita, jati diri kita, dan  perempatan merupakan lambang tapak dara, lambang keseimbangan, agar kita selalu menjaga keseimbangan dengan atas (Tuhan), bawah (Alam lingkungan), kiri kanan (sesama manusia).  Setelah tawur pada catus pata diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh.

Pada malam pengerupukan ini, di bali biasanya tiap desa dimeriahkan dengan adanya ogoh-ogoh yang diarak keliling desa disertai dengan berbagai suara mulai dari kulkul, petasan dan juga “keplug-keplugan” yaitu sebuah bom khas bali yang mengeluarkan suara keras dan menggelagar seperti suara bom, yang dihasilkan dari proses gas dari karbit dan air yang dibakar mengeluarkan suara ledakan yang mengelegar. Ogoh-ogoh umumnya dengan rupa seram, mata melotot, susu menggelantung yang melambangkan buta kala dalam berbagai rupa, juga menunjukkan kreativitas dari orang Bali yang luar biasa yang terkenal akan seni dan budayanya

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------